Paspor
Paspor
![]() |
Paspor |
Jakarta. Kadang
kita membutuhkan alasan yang agak murahan untuk melakukan sesuatu yang mulia.
Kemuliaan itu sendiri terlalu tinggi, kita tak sanggup junjung, maka kita perlu
alasan yang agak dangkal…
Jemari
saya menekani tombol gawai, mencari kantor imigrasi yang masih membuka
pendaftaran antrean paspor online. Saya hendak ke luar negeri untuk suatu
festival sastra. Sial! Semua kanim di Jakarta penuh. Sampai 2020 pun tak ada
jadwal. Saya cek kota lain. Nah, besok ternyata ada slot, tapi di Madiun atau
Kediri!
Lima tahun lalu, membuat Paspor via online sangat mudah. Waktu itu, pelayanan baru ini rasanya seperti keajaiban Reformasi. Teringat era Soeharto. Segala kantor dipenuhi calo. Wajah mereka umumnya tebal oleh pori-pori yang melebar, mungkin karena pengap dalam kantor yang masa itu penuh asap rokok dan tidak ber-AC. Merekalah yang bergerak dari satu ke lain meja sambil memeluk setumpuk map, membujuk para pegawai yang lamban, agar mendahulukan klien masing-masing. Warga hanya bisa pasrah, sambil kipas-kipas dan berharap calonya lebih licin dari calo lain.
Kini,
wajar jika saya cemas seandainya reformasi birokrasi yang sempat berbuah
perlahan rontok dan kita harus mengalami lagi masa gelap. Kekhawatiran itu
bukan tak beralasan. Di Tanah Abang Jakarta, percaloan lapak di luar gedung
pasar mulai marak. Genangan sampah di pintu air Manggarai, yang dulu sempat
lenyap, sekarang sering muncul. Saya cemas, jangan-jangan harus kembali pada
calo.
Pada
paspor kegundahan berlapis. Ia merangkum identitas saya ketika berada di luar
negeri. Diam-diam, orang seperti saya lebih kerap pergi ke luar negeri untuk
mewakili Indonesia—setidaknya mewakili dunia sastra dan gagasan Indonesia.
Kami, para seniman, mungkin tidak dikirim secara resmi oleh pemerintah seperti
para atlet. Kami justru dipilih oleh lembaga dan festival luar negeri sebagai
wakil Indonesia.
Rasa
mewakili Indonesia itu tak bisa ditanggalkan. Karena itu, akut pula rasa ingin
bangga pada Indonesia.
Sejujurnya
saya lebih senang jika bisa membawa kabar baik dari negeri tercinta. Misalnya,
“Oh, sekarang Indonesia sudah demokratis. Kebebasan berbicara dilindungi.”
Sayangnya, yang bebas bicara semaunya hanyalah yang mayoritas atau yang bisa
mengerahkan kekuatan fisik. “Oh, Indonesia sudah tidak sekorup dulu.” Yang
lebih tepat, korupsi di Indonesia tak lagi terpusat seperti dulu. Tetapi, saya
tetap bangga bahwa perjuangan melawan korupsi tidak patah, sekalipun sungguh
berat. Paling rendah, saya ingin bisa bilang, bahwa di Indonesia untuk mengurus
dokumen kita tidak perlu menyogok lagi.
Di
masa Suharto, para sastrawan yang mewakili Indonesia difahami sebagai datang
dari negeri terbelakang. Kami diharapkan bercerita tentang bagaimana bertahan
di bawah rezim yang korup, bagaimana situasi kebebasan ekpresi atau emansipasi
wanita di masyarakat yang tradisional dan agamis. Lantaran memang masih
terganjal halangan tadi, kami kerap tak bisa masuk ke dalam isu yang lebih
canggih yang telah diteroka para intelektual dan seniman negeri lain.
Di
masa Reformasi, sebetulnya saya ingin bisa membawa kabar baik tanah air. Ingin
bisa bilang bahwa kisah-kisah eksotis tentang pelanggaran hak asasi manusia,
korupsi, itu telah menjadi sekadar sejarah. Ingin bisa bilang, kami telah melewatinya
dan belajar darinya—seperti Eropa belajar dari perang agama dan perang dunia,
atau Amerika Serikat belajar dari perbudakan, perang saudara, atau perang
melawan mafia.
Saya
ingin bisa bilang bahwa Indonesia adalah bangsa yang, sejak nenek-moyang,
memiliki sastra dan gagasan yang cemerlang. Dengannya bangsa ini telah
membangun tradisi spiritualitasnya, yang mengatasi dan merangkumi perbedaan.
Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah rumusan dari tradisi spiritual yang
istimewa ini. Kini, bangsa ini juga sedang membangun modernitasnya dalam
pemerintahan dan birokrasi yang mencoba bersih-profesional. Saya ingin bisa
bilang begitu. Tapi kita tahu, gerakan ke arah sebaliknya juga terjadi. Di
Indonesia sekarang juga terjadi radikalisasi agama yang bersifat
anti-kebhinekaan. Pada saat yang sama juga naik-turunnya reformasi birokrasi
serta pemberantasan korupsi.
Dalam
mengurus paspor, semua itu kembali hadir. Putus asa dalam usaha mendaftar
online, saya memakai sosial media. Saya mendapat tanggapan cukup cepat dari
akun Ditjen Imigrasi.
Sistem
paspor online terpadu kini memang belum seoptimal tiket online keretaapi. Para
pendukung percaloan masih bisa mengganggu. Setiap kanim akhirnya mencoba
mengatasi masalah dengan strategi masing-masing. Saya akhirnya bisa mengurus
paspor, tapi juga melihat orang-orang yang mengantri tanpa nomer dan menyusup
di sela antrian resmi.
Seandainya
Indonesia adalah kantor imigrasi. Ada banyak petugas yang profesional, manusia
yang ingin berbuat baik dan tangkas. Tapi kita juga melihat sistem yang masih
bocor, oknum yang bermain, warga yang memilih menyogok. Ada kemajuan, tapi
perjalanan masih panjang, dan ancaman terus membayang. Menuju cita-cita mulia,
Indonesia yang bebas korupsi, mungkin alasan superfisial seperti rasa ingin
bangga akan tanah air bisa membantu kita bergerak ke sana. Setiap kita adalah
wakil Indonesia. Buatlah Indonesia yang membanggakan.
Artikel Sudah Pernah Tayang https://www.kpk.go.id oleh ayu Utami
Baca Juga Tentang
0 Response to "Paspor"
Post a Comment