Novel Baswedan bukanlah satu-satunya korban
Novel Baswedan bukanlah satu-satunya korban
![]() |
Novel Baswedan bukanlah satu-satunya korban |
Jakarta. Seorang perempuan
berpakaian serba hitam muncul dari balik pintu kaca. Ia melangkah menuju tengah
panggung yang dibuat rendah berlapis karpet merah. Dengan intonasi tegas,
ia membacakan sajak.
Novel Baswedan bukanlah satu-satunya korban
Ia menyebut kasus
penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, tepat dua tahun
lalu, sebagai sebuah tindakan yang represi. Dan sebagai pejuang antikorupsi,
penyerangan, apapun bentuknya itu, adalah sebuah konsekuensi. Meski sudah
banyak aktivis yang menjadi korban. Namun sayang, amat sedikit penyerangan yang
bisa terungkap.
“Kebanyakan
berakhir di balik tirai yang gelap. Inilah pekat yang dari waktu ke waktu kian
menebal.”
Seolah ratusan
pasang mata tak berkedip, menyimak bait demi bait yang menggugat keadilan.
Dimana Novel, ia gambarkan sebagai simbol dari yang “kita”. “Maka cerita novel
adalah kisah kita semua. Mata novel adalah mata kita yang ingin tetap menyala.”
Mereka yang
menyaksikan seolah terhipnotis. Tertegun, dan membenarkan apa yang disampaikan
perempuan itu. Ia memungkasi penampilannya malam itu, dengan harapan bahwa
gerakan melawan ketidakadilan akan selalu ada. Ya, harapan adalah ‘senjata’
paling mutakhir rakyat jelata yang menolak kezaliman. Dengan harapan,
perlawanan itu akan terus membesar dan terus membesar.
“Cepat atau
lambat, gerakan ini niscaya akan menghebat. Hidup KPK!”
Tepukan tangan
menggema, seolah mendukung apa yang diucapkan perempuan itu. Dia adalah Najwa
Shihab, seorang jurnalis yang rajin mengkritisi penegakan hukum. Pembacaan
satatan Najwa itu membuka kegiatan Sarasehan Budaya yang merupakan bagian dari
rangakaian peringatan #DuaTahunNovel.
Tak berhenti
sampai di situ. Wahyudi, salah satu anggota Kenduri Cinta membacakan sebuah
esai karya Emha Ainun Najib bertajuk “Hutang Sejarah”. Esai itu merupakan
sebuah teguran untuk pemerintah Indonesia. Penuntasan kasus penyerangan
terhadap Novel di ibaratkan sebuah hutang yang harus dibayar oleh negara.
“Kalo negara dan
hukum tidak menagihnya, maka bukan hanya hutang pelaku yang tidak lunas, tapi
bahkan negara juga berhutang” ujar pria yang juga berpakaian serba hitam,
lengkap dengan kopiah putihnya.
Setelah itu, esi
diskusi dimulai. Bagaimana kondisi Novel setelah dua tahun pasca penyerangan?
Sebelum menjawab,
Novel berdiri, menatap ratusan pasang mata yang menunggu jawabannya. Setelah
mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang mendukungnya, ia mulai
bercerita mengenai kondisi kedua matanya.
“Tadinya kedua
mata saya tidak dapat melihat,” ucap Novel.
Kini, mata
sebelah kanannya sudah bisa membaca namun memiliki pandangan yang sempit.
Sedangkan mata kirinya bisa melihat dengan pandangan yang luas, namun buram.
Meski belum sembuh total, ia tetap bersyukur karena ia masih bisa melihat.
Novel menegaskan,
penyerangan terhadap KPK tidak boleh dianggap sepele. Ketika sebuah penyerangan
tidak pernah diungkap, maka musuh KPK akan semakin berani menyerang. Hal ini
dapat mengancam keselamatan dan menggangu psikologi pegawai yang menjalankan
tugas memberantas korupsi.
“Saya khawatir
orang-orang yang tadinya pada posisi berani untuk melakukan kewajibannya, akan
jatuh kepada
takut dengan ancaman. Tentu ini sesuatu yang tidak boleh terjadi,” ujar Novel.
Pertanyaan
lainnya mengemuka. Tentang sejauh apa upaya pemerintah dalam menuntaskan kasus
ini?
Novel bercerita,
bahwa ia merasa ada banyak kejanggalan yang terjadi dalam proses pengusutan
kasusnya. Menurutnya, ada banyak bukti yang dapat membantu mengungkapkan siapa
pelakunya namun ada saja pihak yang menghalanginya. Selain itu, banyak saksi
yang justru merasa diintimidasi.
“Seharusnya ini
bukan kasus yang sulit karena buktinya banyak sekali. Tapi semakin lama
penanganannya, akan semakin sulit diungkap” ungkap Novel.
Novel berpesan
setiap penyerangan dan terror yang terjadi harus dibawa ke ‘ruang tengah’,
artinya ditemukan segera siapa pelakunya. Menurutnya perlindungan terbaik untuk
pejuang pemberantas korupsi adalah selalu mengungkap setiap kasus secara
terang-terangan.
Najwa pun
sepakat bahwa kasus ini harus diungkap. Karena sebenarnya, ini bukan hanya soal
Novel Baswedan sebagai seorang individu. Penyerangan ini adalah sebuah
penyerangan terhadap KPK sebagai suatu institusi, dan serangan balik pada upaya
pemberantasan korupsi di negeri ini.
Menurutnya,
masyarakat harusnya bergerak dan tidak memaklumi kejahatan luar biasa yang
disebut korupsi. Karena masyarakatlah yang sebenarnya paling dirugikan atas
tindakan para koruptor itu.
Sementara Emha
Ainun Najib, bahkan mengibaratkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
layaknya sebuah pertandingan sepakbola yang diselimuti dengan kepalsuan. Ia
menggambarkan, dukungan terhadap KPK ibarat kesebelasan tim sepakbola yang di
dalamnya ada beberapa pemain yang disuap sehingga mengalahkan timnya sendiri.
“Ada beberapa
pemain yang justru bikin gol bunuh diri, karena sudah d suap” kata pria yang
akrab disapa Cak Nun.
Pemain yang telah
disuap akan menggunakan segala cara untuk membuat timnya kalah. Ada yang salah
cetak gol, ada yang pura-pura sakit, ada yang pura-pura semangat meskipun dia
tidak melakukan apa-apa.
Seperti itulah
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia menurut Cak Nun. Di saat KPK sedang
berjuang untuk melawan korupsi, namun ternyata banyak pihak yang tidak
bersungguh-sungguh untuk membantu KPK dalam melawan korupsi.
“KPK ini pintu
perubahan. Teman-teman pegawai KPK ini harus berjuang untuk perubahan secara
menyeluruh dan kompleks. Mulai hari ini, kita temani teman-teman KPK.” katanya.
Momentum
peringatan #DUATAHUNNOVEL ini merupakan salah satu cara untuk mendesak
pemerintah agar segera menuntaskan kasus penyerangan terhadap Novel dan pejuang
antikorupsi lainnya.
“Malam ini
merupakan sebuah desakan besar untuk pemerintah,” kata Cak Nun.
Cak Nun menutup
malam itu dengan berdoa. “Kun fa yakun,” bergema lantang di pelataran malam
itu, mengamini setiap doa yang dipanjatkan untuk KPK. Seperti sabda Nabi dalam
sebuah hadis, bahwa kekuatan orang-orang yang beriman adalah doa. Jadilah, maka
terjadilah.
Novel Baswedan bukanlah satu-satunya korban.
Artikel Sudah Pernah Tayang https://www.kpk.go.id
Artikel Sudah Pernah Tayang https://www.kpk.go.id
Baca Juga Tentang
0 Response to "Novel Baswedan bukanlah satu-satunya korban"
Post a Comment